Jumat, 07 Juni 2013

TEORI-TEORI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN


A.  Prinsip-prinsip Belajar dalam Pencapaian Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada hakikatnya akan membentuk manusia yang mampu bersaing di dunia global. Sumber daya manusia yang mampu bersaing memasuki dunia global adalah manusia yang benar-benar unggul. Mnusia unggul adalah manusia yang mempunyai kemampuan, antara lain:
-       Berfikir kreatif dan produktif
-       Mampu mengambil keputusan
-       Mampu memecahkan masalah
-       Belajar bagainmana belajar
-       Kolaborasi
-       Mampu mengelola/mengendalikan diri
-       Penentuan strategi pembelajaran merupakan penerapan dari azas-azas pembelajaran.
Azas pembelajaran ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran merupakan implikasi prinsip-prinsip belajar bagi guru.prinsip-prinsip belajar adalah:
1.    Perhatian dan motivasi
2.     Keaktifan
3.    keterlibatan langsung
4.     Pengulangan
5.     perbedaan individual.
B.  Klasifikasi teori belajar dalam pembelajaran
Secara garis besar teori belajar menurut Greadler dapat dibedadakan menjadi 3 (tiga): conditioning theory, Conection theories, dan instighful learning.
1.      Imulus Conditioning  theory
Conditioning theory adalah suatu teori yang menyatakan bahwa belajar merupakan suatu respon dari stimulus tertentu. Teori ini dikemukakan oleh Parlov dan dikembangkan oleh Wiston, Guthreich, dan skinner. Secara rinci hasil experiment yang dilakukan oleh Parlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukumbelajar. Law of respondent extinction dan low of respondent extinction.
Selanjutnya Waston mengembangkan teori belajar dengan berpola pada penrmuan Parlov. Dia berpendapat bahwa belajar adalah merupakan proses terjadinya repleks-repleks atau respon bersayarat melalui stimulus pengganti. Guthreic  memperluas penemuan Waston yang dikenal dengan the law of association, yaitu kombinasi stimuli yang telah menyertai  suati gerakan. Kemudian skinner mengembangkan teori belajar ini dengan teori operant conditioning, yaitu tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant. Secara rinci hasil experiment yang dilakukan FB.Skinner terhadap tikus adalah law of operant conditionin, dan law of operant extincion.
2.      Conection theories
Conection theories merupakan teori belajar yang menyatakan bahwa belajar merupakan pembentukan koneksi-koneksi antara stimilus  dan respon. Teori ini bikembangkan oleh thorndhike yang juga dinamakan train and error learning. Hukum belajar dinamakan law efektif yaitu segala tingkah laku yang menyenangkan akan di ingat dan mudah dipelajari, segala sesuatu yang tidak menyenangkan dan mudah dipelajari. Aplikasi teori ini dengan adanya pemberian ganjaran, hukuman, dll. Secara rinci hasil experimen yang dilakukan thorndhike terhadap kucing adalah low of effect, low of readines, low of ekecise. Insightful learning
Insightful learning adalah belajar menurut pendengaran kognitif. Disebut dengan Gestal dan Field theories. Aplikasi teori gestal dalam pembelajaran, antara lain: pengalaman tilikan (insight), pembelajaran yang bermakna ( meaningful learning), prikaku bertujuan (purposive behavior), prinsip ruang hidup (life space).
Selanjutnya teori gestal dikembangkan oleh piaget. Menurut piaget teori belajar merupakan: proses belajar dari kongkrit ke yang abstrak. Pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan mental yang baru sebelumnya. Perubahan umur mempengaruhi kemampuan belajar individu. Teori belajar burner merupakan pengembangan dari teori belajar Gestal instightful learning. Dalam pendekatan ini mengandung makna bahw refleks belajar berkisar pada manusia sebagai pengolah informasi (masukan) yang diterimanya untuk memperoleh pemahaman. Dasar pemikiran teori ini adalah: berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, orang menciptakan sendiri suatu kerangka kognitif bagi diri sendiri.
Namun demikian, teori ini juga ada kelemahannya, yaitu:
-       memerlukan banyak biaya
-        waktu lama dan
-        kepemilikan teori dasar mutlak diperlukan.
Untuk mengurangi kekurangan tersebut, ada pengembnangan teori insighful learning ini dengan tetap membangun kerangka kognitif sendiri tidak dengan induktif tetapi deduktif.

C.    Paradigma pembelajaran
1.      Paradigma behaviorisme
Pandangan behaviorisme sebanarnya merupakan penerapan dari teori belajar conditioningtheories. Penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa menurut operant conditioning ada 3 komponen belajar yaitu: stimulus diskriptif, respon peserta didik, dan konsekuansi perkuatan operant pembelajaran.
Asumsi yang membentuk conditioning theories ini adalah:
Belajar adalah tingkah laku
Perubahan tingkah laku secara fungsional terkait dengan adanya  perubahan kejadian di lapangan.Hubungan antara tingkah laku dan lingkungan berpengaruh jika sifat kondisi dapat terkontrol secara seksama. Data dari studi eksperimantal tingkah laku merupakan satu-satunya sumber informasi yang dapat diterima sebagai penyebab terjadinya tingkah laku. Tingkah laku organisme secara indifidu merupakan sumber daya yang cocok. Dinamika interaksi  organisme dengan lingkungan adalah sama untuk semua mahluk hidup.
2.      Paradigma kostruktivisme
Dasar paradigma kontruktivisme adalah memandang bahwa pengetahuan bersifat non objektif, temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Sehingga ciri kontruktivisme adalah ketidak teraturan. Menurut aturan kontruktivisme, belajar adalah penyusumn pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi.
Secara ringkas penetaan lingkungan belajar berdasarkan pandangan kontruktivisme menurut Wilson (1997) adalah sebagai berikut:
a.    Menyediakan pengalaman blajar melalui proses pembentukan pengetahuan
b.    Menyediakan pengalaman belajar yang kaya akan berbagai alternative
c.     Mengintregrasi proses belajar mengajar dengan konteks nyata dan relevan
d.   Mengintegrasi belajar dengan pengalaman bersoaialisai
e.    Meningkatkan penggunaan berbagai media disamping komunikasi tertulis dan lisan
f.     Meningkatkan kesadaran peserta didik dalam proses pembentukan pengetahuan mereka
Dengan penetaan lingkungan belajar seperti yang disebutkan di atas diharapkan mendapatkan hasil aplikasi pandangan kontruktivisme dalam pembelajaran antara lain:
a.    Peserta didik memiliki sikap dan persepsi positif terhadap belajar
b.    Peserta didik mengintegrasikan pengetahuan barudengan struktur pengetahuan yang dimilikinya,misalnya: mengklasifikasikan, membangun, membandingkan dan menganalisis masalah.
c.    Peserta didik memiliki kebiasaan mental yang produktif, untuk menjadi pemikir yang mandiri,krutis dan kreatif.
Secara ringkas, manusia yang diharapkan dalam kontruktivisme adalahberfikir kreatif, berani mengambil keputusan, dapat memecagkan masalah, belajar sebagaimana belajar, kolaborasi dan pengelolaan diri.
Menurut pandangan kontruktivisme belajar adalanh penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit aktivitas kolaboratif, reflektif dan interprestasi.(diakses tanggal 02 mart 2010).
Teori belajar kognitif menurut plaget
Plaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran kontruktivisme. Salah satu sumbangan fikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitifindividu yaitu teori tentang perkembangan individu.
Perkembangan kognitif piaget dalam pembelajaran adalah: bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan oranf dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak. Anak-anak akan belajar lebih baik daripada apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya. Bahan yang harus di pelajari hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing. Berikan peluang agar anak belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan berdiskusi dengan teman-tenmannya.
Teori pemprosesan informasi dari Robert Gagne
Asumsi yang mendasari teori ini  adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat pentingdalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Dalam pemprosesan informasi terjadi adanya interaksi kondisi-kondisi internal dari kondisi-kondisi ekternal individu.
Kondisi internal yaitu keadaan andividu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi akternal adalah rangsanagn dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan pross pembelajaran mempunyai delapan fase, yaitu:
1)   Motivasi
2)   Pemahaman
3)   Pemeroleham
4)   Penyimpanan
5)   Ingatan kembali
6)   Generalisasi
7)   Perlakuan dan
8)   Umpan yang baik

Selasa, 21 Mei 2013

SEJARAH IAID


Institut Agama Islam Darussalam (IAID) adalah Perguruan Tinggi Agama Islam yang menggabungkan pendidikan akademik dengan pendidikan kepesantrenan, yaitu Pondok Pesantren Darussalam. Pendidikan Tinggi Islam yang lahir pada tanggal 1 Juni 1970 ini sejak lama dipercaya pemerintah dan masyarakat untuk mendidik calon-calon sarjana-ulama-cendekia, yang memiliki visi ke-Islam-an, keilmuan, kebangsaan dan kemasyarakatan.

Kepercyaan itu dibuktikan dengan jumlah ribuan alumni yang tersebar hampir di seluruh pelosok nusantara dalam berbagai peran dan kedudukan.
Pada awal berdirinya, IAID hanya memiliki satu fakultas, yaitu Fakultas Syari’ah. Kemudian melalui usaha keras, saat ini telah ada tiga fakultas dan satu program, yaitu Fakultas Syari’ah (Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah), Fakultas Tarbiyah (Program Studi Pendidikan Agama Islam dan Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah), Fakultas Dakwah (Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam), dan Program Pascasarjana/S2 (Program Studi Pendidikan Islam.
Fakultas Ushuluddin Jurusan Dakwah pernah didirikan, tetapi kemudian diubah menjadi Fakultas Dakwah Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sesuai dengan tuntutan dan perkembangan yang ada. Program Diploma PGSD/PGMI juga pernah ada tetapi kemudian ditingkatkan statusnya dari Program Diploma menjadi Program Strata Satu.

Perilaku Tertentu pada Bayi Bisa Merupakan Ciri Awal dari Autisme


Para peneliti di Canada dan Amerika menemukan 16 ciri2 awal perilaku bayi yang merupakan prediksi akurat untuk timbulnya autisme dikemudian hari.

Para peneliti di Canada dapat menunjukkan bahwa perilaku tertentu pada bayi bisa meramalkan dengan cukup akurat bahwa akan berkembang menjadi gejala autisme.
Suatu penelitian yang masih sedang berjalan pada 200 bayi Canada adalah penelitian terbesar yang pernah dilakukan. Bayi2 tersebut mempunyai kakak yang terdiagnosa dengan ASD (Autism Spectrum Disorder). Mereka dipantau terus selama lebih dari 24 bulan. Penemuan awal ini telah dipublikasikan bulan April dalam International Journal of Developmental Neuroscience.

Penelitian menunjukkan bahwa keluarga yang mempunyai seorang anak autistik mempunyai kemungkinan mempunyai anak autistik lagi sekitar 5-10 persen.
Penelitian Canada dimulai sebagai kerja sama antara McMaster University (Offord Centre for Child Studies in Hamilton), The Hospital for Sick Children di Toronto, dan
IWK Health Centre in Halifax. Penelitian ini telah menarik perhatian nasional.Semula dibiayai oleh The Hospital for Sick Children Foundation, sekarang dibiayai oleh The Canadian Institute of Mental Health Research, penelitian ini berkembang dan mengikut sertakan 14 kota diseluruh Canada dan Amerika.
Penelitian ini akhirnya menjadi kerja sama yang besar antara Canada dan Amerika.

Dari seluruh gangguan perkembangan yang ada, Retardasi Mental adalah yang terbanyak, kemudian disusul oleh Gangguan Spektrum Autisme. Meskipun seluruh kumpulan gejalanya luas, bisa sangat ringan maupun sangat berat, namun semuanya menunjukkan gangguan dalam bidang, komunikasi, interaksi sosial dan perilaku.
Gangguan ini demikian kompleksnya dan diagnosanya tergantung dari kemampuan dan pengalaman klinis pemeriksa, oleh karena instrument yang bisa mengukur autisme untuk bayi belum ada.

Saat ini para peneliti Canada membuat instrument tersebut yang disebut : Autism Observation Scale for Infants (AOSI). Instrumen ini mengukur perkembangan bayi mulai 6 bulan, mencari 16 ciri-ciri yang khas yang menimbulkan risiko timbulnya autisme, seperti misalnya :

- tidak mau tersenyum bila diajak senyum
- tidak bereaksi bila namanya dipanggil
- temperamen yang passif pada umur 6 bulan, diikuti dengan iritabilitas yang tinggi
- kecenderungan sangat terpukau dengan benda tertentu
- interaksi sosial yang kurang
- ekspresi muka yang kurang hidup pada saat mendekati umur 12 bulan.
- pada umur satu tahun anak-anak ini lebih jelas menunjukkan gangguan komunikasi dan berbahasa.
- bahasa tubuhnya kurang
-  pengertian bahasa reseptif maupun ekspresif rendah.

Apakah cirri-ciri diatas ini merupakan ciri dini dari autisme, atau merupakan perilaku yang menyebabkan berkurangnya kemampuan sosialisasi sehingga timbul gangguan perkembangan seperti autisme ? Bagaimanapun hasil penelitian ini akan membuat kita lebih mengerti kapan autisme pada seorang anak mulai timbul.
Dr Zwaigenbaum mengatakan bahwa kekuatan prediksi dari cirri-ciri ini sangat kuat. Dari anak yang telah dipantau selama 24 bulan, yang kemudian benar-benar terdiagnosa sebagai ASD , menunjukkan sedikitnya 7 dari 16 ciri-ciri tersebut. Dengan mengenali ciri2 tersebut sedini mungkin, diagnosa bisa ditegakkan sedini mungkin, dan  intervensi bisa dimulai lebih dini. Hal ini akan mempengaruhi masa depan anak tersebut.

Jessica Brian, salah seorang yang turut mengambil bagian dalam penelitian tersebut  di Hospital for Sick Children sudah mulai mengembangkan teknik2 intervensi dini untuk bayi yang menunjukkan ciri2 tersebut.
John Kelton, dekan dan vice president dari McMaster’s Faculty of Health Science mengatakan : “ Ini merupakan langkah maju yang penting. Kelompok di Offord Centre benar2 melakukan langkah nyata dalam memberikan penanganan yang lebih baik bagi anak2 dan keluarga dimana ada seorang yang menderita gangguan autistik".

Kamis, 25 April 2013

Asas - asas Pendidikan


Terdapat sejumlah asas yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas – asas tersebut bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di Indonesia.
A.    ASAS TUT WURI HANDAYANI
Asas tut wuri handayani, yang kini menjadi semboyan Depdikbud, pada awalnya merupakan salah satu dari “asas 1922” yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa (didirikan 3 juli 1922). Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari Sistem Among dan perguruan itu. Asas ataupun semboyan tut wuri handayani yang dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu mendapat tanggapan positif dari Drs. R.M.P. Sostrokartono (filsuf dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing ngarso sung tulada dan Ing madya mangun karsa. Ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas, yakni:
·         Ing ngarsa sung tulada (jika di depan, menjadi contoh),
·         Ing madya mangun karsa (jika di tengah-tengah, membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi), dan
·         Tut wuri handayani (jika di belakang, mengikuti dengan awas).
Agar diperoleh latar keberlakuan awal dari asas tut wuri handayani, perlu dikemukakan ketujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa tersebut. Seperti diketahui Perguruan Nasional Taman Siswa yang lahir pada tanggal 3 Juli 1992 berdiri diatas tujuh asas yang merupakan asas perjuangan untuk menghadapi Pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan sifat yang nasional dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut yang secara singkat disebut “Asas 1922” adalah sebagai berikut:
a.       Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya persatuan dalam perikehidupan umum.
b.      Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti lahir dan bathin dapat memerdekakan diri.
c.       Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
d.      Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
e.       Bahwa untuk mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupun bathin hendakalah diusahakan dengan kesatuan sendiri,dan menolak bantuan apa pun dan dari siapa pun yang mengikat, baik berupa ikatan lahir maupun ikatan bathin.
f.       Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala usaha yang dilakukan.
g.      Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan bathin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak.
Asas tut wuri handayani merupakan inti dari asas pertama (butir a ) yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dalam peri kehidupan umum. Dari asasnya yang pertama ini jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Taman Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai (tata dan tentram, orde on verde ). Kehidupan yang tertib dan damai hendaknya dicapai menurut dasar kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini pulalah yang mendorong Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan cara lama yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa, yang didasarkan pada perkembangan kodrati. Dari asas ini pulalah lahir “Sistem Among”, di mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang berdiri di belakang dengan bersemboyan “tut wuri handayani”, yaitu tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, “Sistem Among” adalah cara pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan para guru supaya mengingati dan mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.
Dua semboyan lainnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri handayani, pada hakikatnya bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidaka ada unsur perintah, paksaan atau hukuman, tidaka ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Dari sisi lain, pendidik setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. Ing ngarsa sung tulada (di depan memberi contoh) adalah hal yang baik mengingat kebutuhan anak maupun pertimbangan guru. Ing madya mangun karsa (di tengah membangkitkan kehendak) diterpakan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai satu kesatuan asas (ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) telah menjadi asas penting dalam pendidikan di Indonesia.
B.     ASAS BELAJAR SEPANJANG HAYAT
Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup (life long learning). Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education (UIE Hamburg) menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus:
a.       Meliputi seluruh hidup setiap individu.
b.      Mengarah kepada pembentukan, pembaruan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya.
c.       Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu.
d.      Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri.
e.        Mengakui kontribusi dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non-formal dan informal ( Lipu La Sulo, 1990 ) . Istilah pendidikan seumur hidup erat kaitannya dan kadang-kadang digunakan saling bergantian dengan makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah ini memang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Seperti diketahui, penekanan istilah “belajar” adalah perubahan prilaku (kognitif/afektif/fisikomotor)yang relatif tetap karena pengaruh pengalaman, sedang istilah “pendidikan” menekankan pada usaha sadar dan sistematis untuk penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan pengaruh pengalaman tersebut lebih efisien dan efektif, dengan kata lain, lingkungan yang membelajarkan subjek didik. ( Tirtarahardja, 2005 )
Dalam asas pendidikan seumur hidup, proses belajar-mengajar di Sekolah mengemban sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien dan efektif, dan meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai basis belajar sepanjang hayat. Ditinjau dari pendidikan sekolah, masalahnya bagimana merancang dan mengimplementasikan suatu program belajar-mengajar sehingga mendorong terwujudnya belajar sepanjang hayat, dengan kata lain, terbentuk manusia dan masyarakat yang mau dan mampu terus menerus belajar.
Kurikulum yang dapat mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan diimplementasi dengan memperhatikan dua dimensi berikut:
a.             Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah yang meliputi: keterkaitan dan kesinambungan antartingkatan persekolahan, harus pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Termasuk dalam dimensi vertikal itu antara lain pengkajian tentang:
·               Keterkaitan antara kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk relevansi bahan ajaran dengan masa depan dan pengintegrasian masalah kehidupan nyata ke dalam kurikulum.
·               Kurikulum dan perubahan sosial-kebudayaan: Kurikulum syogianya memungkinkan antisipasi terhadap perubahan sosial-kebudayaan itu karena peserta didik justru akan hidup dalam sosial-kebudayaan yang telah berubah setelah menamatkan sekolahnya.
·                The forecasting curriculum” yakni perancangan kurikulum berdasarkan suatu prognosis, baik tentang prilaku peserta didik pada saat menamatkan sekolahnya, pada saat hidup ia dalam sistem yang sedang berlaku, maupun pada saat ia hidup dalam sistem yang telah berubah di masa depan.
·               Keterpaduan bahan ajaran dan pengorganisasian pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan struktur pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk memperoleh keterpaduan ide bidang studi itu.
·               Penyiapan untuk memikul tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri maupun dalam bidang sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama membangun masyarakatnya.
·               Pengintegrasian dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga untuk pendidikan dasar, dan demikian seterusnya.
·               Untuk mempertahankan motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus dapat melihat kemanfaatan yang akan didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan yang terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan kepribadiannya, dan sebagainya.
b.            Dimensi horizontal dari kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah antara lain:
·               Kurikulum sekolah merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di luar sekolah menjadi objek refleksi teoritis di dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta didik lebih memahami persoalan-persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah.
·               Memperluas kegiatan belajar  ke luar sekolah; kehidupan di luar sekolah dijadikan tempat kajian empiris, seingga kegiatan belajar-mengajar terjadi di dalam dan di luar sekolah.
·               Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam kegiatan belajar-mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar di sekolah maupun kegiatan belajar di luar sekolah.
Perancangan dan implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan dan kemauan menggunakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan meberi peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan masyarakat yang mempunyai warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar belajar (learning society). Dengan kata lain, akan terwujudlah gagasan pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia.

C.    ASAS KEMANDIRIAN DALAM BELAJAR
Baik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat kaitannya dengan asas kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar, sedini mungkin di kembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap untuk ulur tangan apabila diperlukan. Selanjutnya, asas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena adalah tidak mungkin seseorang belajar sepanjang hayatnya apabila selau tergantung dari bantuan guru ataupun orang lain.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebaga fasilitator dan motivator, di samping peran-peran lain: Informator, organisator, dan sebagainya. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian sehingga memudahkan peserta didik berinterkasi dengan sumber-sumber tersebut. Sedang sebagai motivator, guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar itu. Pengembangan kemandirian dalam belajar ini seyogianya dimulai dalam kegiatan intrakurikuler, yang dikembangkan dan dimantapkan selanjutnya dalam kegiatan kokurikuler dan ekstra-kurikuler. Atau, untuk latar perguruan tinggi: Dimulai dalam kegiatan tatap muka, dan dikembangkan dan dimantapkan dalam kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri. Kegiatan tatap muka atau intrakurikuler terutama berfungsi membentuk konsep-konsep dasar dan cara-cara pemanfaatan berbagai sumber belajar, yang akan menjadi dasar pengembangan kemandirian dalam belajar di dalam bentuk-bentuk kegiatan terstruktur dan mandiri, atau kegiatan ko- dan ekstrakurikuler itu.
Terdapat berbagai strategi belajar-mengajar dan atau kegiatan belajar-mengajar yang dapat memberi peluang pengembangan kemandirian dalam belajar. Cara belajar siswa aktif (CBSA) merupakan salah satu pendekatan yang memberi peluang itu, karena siswa dituntut mengambil prakarsa dan atau memikul tanggung jawab tertentu dalam belajar-mengajar di sekolah, umpamanya melalui lembaga kerja. Di samping itu, beberapa jenis kegiatan belajar mandiri akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan kemandirian dalam belajar itu, seperti belajar melalui modul, paket belajar, pengajaran berprogram, dan sebagainya. Keseluruhan upaya itu akan dapat terlaksana dengan semestinya apabila setiap lembaga pendidikan, utamanya sekolah, didukung oleh suatu pusat sumber belajar (PSB) yang memadai. Seperti diketahui, PSB itu memberi peluang tersedianya berbagai jenis sumber belajar, di samping bahan pustaka di perpustakaan, seperti rekaman elektronik, ruang-ruang belajar (tutorial) sebagai mitra kelas, dan sebagainya. Dengan dukungan PSB itu asas-asas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta:  PT Asdi Mahasatya.
Ihsan, Fuad. 1997. Dasar – dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ngalim, Purwanto. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung:  PT. Remaja Rosda karya