Terdapat sejumlah
asas yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan itu. Asas –
asas tersebut bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan di dunia maupun
yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan
di Indonesia.
A.
ASAS TUT WURI HANDAYANI
Asas tut wuri handayani,
yang kini menjadi semboyan Depdikbud, pada awalnya merupakan salah satu dari
“asas 1922” yakni tujuh buah asas dari Perguruan Nasional Taman Siswa
(didirikan 3 juli 1922). Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan
inti dari Sistem Among dan perguruan itu. Asas ataupun semboyan tut
wuri handayani yang dikumandangkan oleh Ki Hadjar Dewantara itu mendapat
tanggapan positif dari Drs. R.M.P. Sostrokartono (filsuf dan ahli bahasa) dengan menambahkan dua
semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing ngarso
sung tulada
dan Ing madya mangun karsa. Ketiga semboyan tersebut
telah menyatu menjadi satu kesatuan asas, yakni:
·
Ing ngarsa sung tulada
(jika di depan, menjadi contoh),
·
Ing madya mangun karsa
(jika di tengah-tengah, membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi), dan
·
Tut wuri handayani (jika
di belakang, mengikuti dengan awas).
Agar diperoleh latar
keberlakuan awal dari asas tut wuri handayani, perlu
dikemukakan ketujuh asas Perguruan Nasional Taman Siswa tersebut. Seperti
diketahui Perguruan Nasional Taman Siswa yang lahir pada tanggal 3 Juli 1992
berdiri diatas tujuh asas yang merupakan asas perjuangan untuk menghadapi
Pemerintah Kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan
hidup dan sifat yang nasional dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut yang secara
singkat disebut “Asas 1922” adalah sebagai berikut:
a.
Bahwa setiap orang
mempunyai hak untuk mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya
persatuan dalam perikehidupan umum.
b.
Bahwa pengajaran harus
memberi pengetahuan yang berfaedah, yang dalam arti lahir dan bathin dapat
memerdekakan diri.
c.
Bahwa pengajaran harus
berdasar pada kebudayaan dan kebangsaan sendiri.
d.
Bahwa pengajaran harus
tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
e.
Bahwa untuk mengejar
kemerdekaan hidup yang sepenuh-penuhnya lahir maupun bathin hendakalah
diusahakan dengan kesatuan sendiri,dan menolak bantuan apa pun dan dari siapa
pun yang mengikat, baik berupa ikatan lahir maupun ikatan bathin.
f.
Bahwa sebagai konsekuensi
hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membelanjai sendiri segala
usaha yang dilakukan.
g.
Bahwa dalam mendidik
anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan bathin untuk mengorbankan segala
kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagiaan anak-anak.
Asas tut wuri handayani
merupakan inti dari asas pertama (butir a ) yang menegaskan bahwa setiap orang
mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dalam peri kehidupan umum.
Dari asasnya yang pertama ini jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh Taman
Siswa adalah kehidupan yang tertib dan damai (tata dan tentram, orde on
verde ). Kehidupan yang tertib dan damai hendaknya dicapai menurut
dasar kodrat alam sebagai sifat lahir dan manifestasi kekuasaan Tuhan. Asas ini
pulalah yang mendorong Taman Siswa untuk mengganti sistem pendidikan cara lama
yang menggunakan perintah, paksaan, dan hukuman dengan sistem khas Taman Siswa,
yang didasarkan pada perkembangan kodrati. Dari asas ini pulalah lahir “Sistem
Among”, di mana guru memperoleh sebutan “pamong”, yaitu sebagai pemimpin yang
berdiri di belakang dengan bersemboyan “tut wuri handayani”, yaitu tetap
mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan
sendiri, dan tidak terus menerus dicampuri, diperintah atau dipaksa. Pamong
hanya wajib menyingkirkan segala sesuatu yang merintangi jalannya anak serta
hanya bertindak aktif dan mencampuri tingkah laku atau perbuatan anak apabila
mereka sendiri tidak dapat menghindarkan diri dari berbagai rintangan atau
ancaman keselamatan atau gerak majunya. Jadi, “Sistem Among” adalah cara
pendidikan yang dipakai dalam sistem Taman Siswa dengan maksud mewajibkan para
guru supaya mengingati dan mementingkan kodrat-iradatnya para siswa dengan
tidak melupakan segala keadaan yang mengelilinginya.
Dua semboyan lainnya,
sebagai bagian tak terpisahkan dari tut wuri handayani, pada hakikatnya
bertolak dari wawasan tentang anak yang sama, yakni tidaka ada unsur perintah,
paksaan atau hukuman, tidaka ada campur tangan yang dapat mengurangi kebebasan
anak untuk berjalan sendiri dengan kekuatan sendiri. Dari sisi lain, pendidik
setiap saat siap memberi uluran tangan apabila diperlukan oleh anak. Ing ngarsa
sung tulada (di depan memberi contoh) adalah hal yang baik mengingat kebutuhan
anak maupun pertimbangan guru. Ing madya mangun karsa (di tengah membangkitkan
kehendak) diterpakan dalam situasi kurang bergairah atau ragu-ragu untuk
mengambil keputusan atau tindakan, sehingga perlu diupayakan untuk memperkuat
motivasi. Ketiga semboyan tersebut sebagai satu kesatuan asas (ing ngarsa sung
tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani) telah menjadi asas
penting dalam pendidikan di Indonesia.
B.
ASAS BELAJAR SEPANJANG
HAYAT
Asas belajar sepanjang
hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain
terhadap pendidikan seumur hidup (life long learning). Oleh karena itu, UNESCO Institute for Education (UIE Hamburg)
menetapkan suatu definisi kerja yakni pendidikan seumur hidup adalah pendidikan
yang harus:
a.
Meliputi seluruh hidup
setiap individu.
b.
Mengarah kepada
pembentukan, pembaruan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidupnya.
c.
Tujuan akhirnya adalah
mengembangkan penyadaran diri (self fulfilment) setiap individu.
d.
Meningkatkan kemampuan
dan motivasi untuk belajar mandiri.
e.
Mengakui kontribusi
dari semua pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal,
non-formal dan informal ( Lipu La Sulo, 1990 ) . Istilah pendidikan
seumur hidup erat kaitannya dan kadang-kadang digunakan saling bergantian
dengan makna yang sama dengan istilah “belajar sepanjang hayat”. Kedua istilah
ini memang tidak dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Seperti diketahui,
penekanan istilah “belajar” adalah perubahan prilaku
(kognitif/afektif/fisikomotor)yang relatif tetap karena pengaruh pengalaman,
sedang istilah “pendidikan” menekankan pada usaha sadar dan sistematis untuk
penciptaan suatu lingkungan yang memungkinkan pengaruh pengalaman tersebut
lebih efisien dan efektif, dengan kata lain, lingkungan yang membelajarkan
subjek didik.
( Tirtarahardja, 2005 )
Dalam asas
pendidikan seumur hidup, proses belajar-mengajar di Sekolah mengemban
sekurang-kurangnya dua misi, yakni membelajarkan peserta didik dengan efisien
dan efektif, dan meningkatkan kemauan dan kemampuan belajar mandiri sebagai
basis belajar sepanjang hayat. Ditinjau dari pendidikan sekolah, masalahnya
bagimana merancang dan mengimplementasikan suatu program belajar-mengajar
sehingga mendorong terwujudnya belajar sepanjang hayat, dengan kata lain,
terbentuk manusia dan masyarakat yang mau dan mampu terus menerus belajar.
Kurikulum yang dapat
mendukung terwujudnya belajar sepanjang hayat harus dirancang dan
diimplementasi dengan memperhatikan dua dimensi berikut:
a.
Dimensi vertikal dari
kurikulum sekolah yang meliputi: keterkaitan dan kesinambungan antartingkatan
persekolahan, harus pula terkait dengan kehidupan peserta didik di masa depan.
Termasuk dalam dimensi vertikal itu antara lain pengkajian tentang:
·
Keterkaitan antara
kurikulum dengan masa depan peserta didik, termasuk relevansi bahan ajaran
dengan masa depan dan pengintegrasian masalah kehidupan nyata ke dalam
kurikulum.
·
Kurikulum dan perubahan
sosial-kebudayaan: Kurikulum syogianya memungkinkan antisipasi terhadap
perubahan sosial-kebudayaan itu karena peserta didik justru akan hidup dalam
sosial-kebudayaan yang telah berubah setelah menamatkan sekolahnya.
·
“The forecasting curriculum” yakni perancangan kurikulum
berdasarkan suatu prognosis, baik tentang prilaku peserta didik pada saat
menamatkan sekolahnya, pada saat hidup ia dalam sistem yang sedang berlaku,
maupun pada saat ia hidup dalam sistem yang telah berubah di masa depan.
·
Keterpaduan bahan ajaran
dan pengorganisasian pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan struktur
pengetahuan yang sedang dipelajari dengan penguasaan kerangka dasar untuk
memperoleh keterpaduan ide bidang studi itu.
·
Penyiapan untuk memikul
tanggung jawab, baik tentang dirinya sendiri maupun dalam bidang
sosial/pekerjaan, agar kelak dapat membangun dirinya sendiri dan bersama-sama
membangun masyarakatnya.
·
Pengintegrasian dengan
pengalaman yang telah dimiliki peserta didik, yakni pengalaman di keluarga
untuk pendidikan dasar, dan demikian seterusnya.
·
Untuk mempertahankan
motivasi belajar secara permanen, peserta didik harus dapat melihat kemanfaatan
yang akan didapatnya dengan tetap mengikuti pendidikan itu, seperti kesempatan
yang terbuka baginya, mobilitas pekerjaan, pengembangan kepribadiannya, dan
sebagainya.
b.
Dimensi horizontal dari
kurikulum sekolah yakni keterkaitan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
pengalaman di luar sekolah antara lain:
·
Kurikulum sekolah
merefleksi kehidupan di luar sekolah; kehidupan di luar sekolah menjadi objek
refleksi teoritis di dalam bahan ajaran di sekolah, sehingga peserta didik
lebih memahami persoalan-persoalan pokok yang terdapat di luar sekolah.
·
Memperluas kegiatan
belajar ke luar sekolah; kehidupan di luar sekolah dijadikan tempat
kajian empiris, seingga kegiatan belajar-mengajar terjadi di dalam dan di luar
sekolah.
·
Melibatkan orang tua dan masyarakat
dalam kegiatan belajar-mengajar, baik sebagai narasumber dalam kegiatan belajar
di sekolah maupun kegiatan belajar di luar sekolah.
Perancangan dan
implementasi kurikulum yang memperhatikan kedua dimensi itu akan mengakrabkan
peserta didik dengan berbagai sumber belajar yang ada di sekitarnya. Kemampuan
dan kemauan menggunakan sumber-sumber belajar yang tersedia itu akan meberi
peluang terwujudnya belajar sepanjang hayat. Dan masyarakat yang mempunyai
warga yang belajar sepanjang hayat akan menjadi suatu masyarakat yang gemar
belajar (learning society). Dengan kata lain, akan terwujudlah gagasan
pendidikan seumur hidup seperti yang tercermin di dalam sistem pendidikan
nasional Indonesia.
C.
ASAS KEMANDIRIAN DALAM
BELAJAR
Baik asas tut wuri handayani
maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat kaitannya dengan asas
kemandirian dalam belajar. Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak
dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, sedini mungkin di kembangkan kemandirian dalam
belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu siap untuk
ulur tangan apabila diperlukan. Selanjutnya, asas belajar sepanjang hayat hanya
dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan
mampu mandiri dalam belajar, karena adalah tidak mungkin seseorang belajar
sepanjang hayatnya apabila selau tergantung dari bantuan guru ataupun orang
lain.
Perwujudan asas
kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebaga
fasilitator dan motivator, di samping peran-peran lain: Informator,
organisator, dan sebagainya. Sebagai fasilitator, guru diharapkan menyediakan
dan mengatur berbagai sumber belajar sedemikian sehingga memudahkan peserta
didik berinterkasi dengan sumber-sumber tersebut. Sedang sebagai motivator,
guru mengupayakan timbulnya prakarsa peserta didik untuk memanfaatkan sumber
belajar itu. Pengembangan kemandirian dalam belajar ini seyogianya dimulai
dalam kegiatan intrakurikuler, yang dikembangkan dan dimantapkan selanjutnya
dalam kegiatan kokurikuler dan ekstra-kurikuler. Atau, untuk latar perguruan
tinggi: Dimulai dalam kegiatan tatap muka, dan dikembangkan dan dimantapkan
dalam kegiatan terstruktur dan kegiatan mandiri. Kegiatan tatap muka atau
intrakurikuler terutama berfungsi membentuk konsep-konsep dasar dan cara-cara
pemanfaatan berbagai sumber belajar, yang akan menjadi dasar pengembangan
kemandirian dalam belajar di dalam bentuk-bentuk kegiatan terstruktur dan
mandiri, atau kegiatan ko- dan ekstrakurikuler itu.
Terdapat berbagai
strategi belajar-mengajar dan atau kegiatan belajar-mengajar yang dapat memberi
peluang pengembangan kemandirian dalam belajar. Cara belajar siswa aktif (CBSA)
merupakan salah satu pendekatan yang memberi peluang itu, karena siswa dituntut
mengambil prakarsa dan atau memikul tanggung jawab tertentu dalam
belajar-mengajar di sekolah, umpamanya melalui lembaga kerja. Di samping itu,
beberapa jenis kegiatan belajar mandiri akan sangat bermanfaat dalam mengembangkan
kemandirian dalam belajar itu, seperti belajar melalui modul, paket belajar,
pengajaran berprogram, dan sebagainya. Keseluruhan upaya itu akan dapat
terlaksana dengan semestinya apabila setiap lembaga pendidikan, utamanya
sekolah, didukung oleh suatu pusat sumber belajar (PSB) yang memadai. Seperti
diketahui, PSB itu memberi peluang tersedianya berbagai jenis sumber belajar,
di samping bahan pustaka di perpustakaan, seperti rekaman elektronik,
ruang-ruang belajar (tutorial) sebagai mitra kelas, dan sebagainya. Dengan
dukungan PSB itu asas-asas kemandirian dalam belajar akan lebih dimantapkan dan
dikembangkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Tirtarahardja,
Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta:
PT
Asdi Mahasatya.
Ihsan,
Fuad. 1997. Dasar – dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Ngalim,
Purwanto. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosda karya