Rabu, 24 April 2013

Aliran-aliran Pendidikan


A.          Aliran Empirisme
Tokoh aliran Empirisme adalah John Lock, filosof Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704. Empirisme berasal dari kata empiris yang artinya pengalaman. Teorinya dikenal dengan Tabula rasa (meja lilin), yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan tulisan yang digores oleh lingkungan. Faktor bawaan dari orangtua (faktor keturunan) tidak dipentingkan. Pengalaman diperoleh anak melalui hubungan dengan lingkungan (sosial, alam, dan budaya). Pengaruh empiris yang diperoleh dari lingkungan berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Menurut aliran ini, pendidik sebagai faktor luar memegang peranan sangat penting, sebab pendidik menyediakan lingkungan pendidikan bagi anak, dan anak akan menerima pendidikan sebagai pengalaman. Pengalaman tersebut akan membentuk tingkah laku, sikap, serta watak anak sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.
Misalnya: Suatu keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis. Segala alat diberikan dan pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak itu tidak ada. Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasilnya tidak optimal.
Contoh lain, ketika dua anak kembar sejak lahir dipisahkan dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Satu dari mereka dididik di desa oleh keluarga petani golongan miskin, yang satu dididik di lingkungan keluarga kaya yang hidup di kota dan disekolahkan di sekolah modern. Ternyata pertumbuhannya tidak sama. Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan. Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.
Aliran empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan, sedangkan kemampuan dasar yang dibawa sejak lahir dianggap tidak menentukan. Menurut kenyataan dalam kehidupan sehari – hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri yang berupa kecerdasan dan kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam dirinya. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang memandang manusia sebagai mahluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku. Hal itu tercermin pada pandangan scientific psychology dari B.F. Skinner ataupun pandangan Behavioral ( behaviorisme ) lainnya. Behaviorisme itu menjadikan perilaku manusia yang tampak keluar sebagai sasaran kajiannya, dengan tetap menekankan bahwa perilaku itu terutama sebagai hasil belajar semata – mata. Meskipun demikian, pandangan behavioral ini juga masih bervariasi dalam menentukan faktor apakah yang paling utama dalam proses belajar itu ( Milhollan dan Forisha, 1972 : 31 – 79 ; Ivey, et.al, 1987 : 231 – 263 ), sebagai berikut :
1.      Pandangan yang menekankan peranan stimulus ( rangsangan ) terhadap perilaku seperti dalam “ classical conditioning “ atau “ respondent learning “oleh Ivan Pavlov ( 1849 – 1936 ) di Rusia dan Jon B. Watson ( 1878 – 1958 ) di Amerika Serikat.
2.      Pandangan yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari sesuatu perilaku seperti dalam “ operant conditioning “ atau “ instrumental learning “ dari Edward L. Thorndike ( 1874 – 1949 ) dan Burrhus F. Skinner ( 1904 - ) di Amerika Serikat.
3.      Pandangan yang menekankan peranan pengamatan dan imitasi seperti dalam “ observational learning “ yang dipelopori oleh N. E. Miller dan J. Dollard dengan “ social learning and imitation “ dan dikembangkan lebih lanjut oleh A. Bandura dengan “ participant modeling “ maupun dengan “ self-efficacy “ .
  Aliran empirisme mengatakan bahwa pembawaan itu tidak ada, yang dimiliki anak adalah akibat pendidikan baik sifat yang baik maupun sifat yang jelek, jadi perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu sama sekali ditentukan oleh lingkungan atau dengan pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil, sehingga manusia dapat menjadi apa saja atau menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya.
Kaum behavioris pun sependapat dengan kaum empiris itu. Sebagai contoh kami kemukakan disini kata-kata Waston, seorang behavioris tulen dari Amerika “berilah saya sejumlah anak yang baik keadaan badannya dan situasi yang saya butuhkan; dan dari setiap anak entah yang mana, dapat saya jadikan dokter, seorang pedagang, seorang ahli hukum, atau memang jika dikehendaki menjadi seorang pengemis atau pencuri.
B.           Aliran Nativisme
Tokoh aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer. la adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran nativisme berasal dari kata natus (lahir); nativis (pembawaan) yang ajarannya memandang manusia (anak manusia) sejak lahir telah membawa sesuatu kekuatan yang disebut potensi (dasar). Aliran nativisme ini, bertolak dari leibnitzian tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak dalam proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa aliran nativisme berpandangan segala sesuatunya ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir, jadi perkembangan individu itu semata-mata dimungkinkan dan ditentukan oleh dasar turunan, misalnya ; kalau ayahnya pintar, maka kemungkinan besar anaknya juga pintar.
Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan individu ditentukan oleh faktor bawaan sejak lahir. Faktor lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Oleh karena itu, hasil pendidikan ditentukan oleh bakat yang dibawa sejak lahir. Menurut aliran ini, pendidikan tidak dapat mengubah sifat – sifat pembawaan. Jadi, kalau benar pendapat tersebut, percumalah kirta mendidik atau dengan kata lain pendidikan tidak perlu. Dalam ilmu pendidikan, hal ini disebut pesimisme pedagogis.
Prinsipnya, pandangan Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya asli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia, yaitu daya-daya psikologis dan fisiologis yang bersifat herediter, serta kemampuan dasar lainnya yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orangtua yang ahli seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi ke-mampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.
Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni dalam diri individu terdapat suatu “ inti “ pribadi ( G. Leibnitz: Monad ) yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemauan sendiri, dan menempatkan manusia sebagai mahluk aktif yang mempunyai kemauan bebas. Pandangan – pandangan tersebut tampak antara lain humanistic psychology dari Carl R. Rogers ataupun pandangan phenomenology / humanistic lainnya. Meskipun pandangan ini mengakui pentingnya belajar, namun pengalaman dalam belajar itu ataupun penerimaan dan persepsi seseorang banyak ditentukan oleh kemampuan memberi makna kepada apa yang dialaminya itu.
Coba simak cerita tentang anak manusia yang hidup di bawah asuhan serigala. la bernama Robinson Crussoe. Crussoe sejak bayi hidup di tengah hutan rimba belantara yang ganas. la tetap hidup dan berkembang atas bantuan air susu serigala sebagai induknya. Serigala itu memberi Crussoe makanan se-suai selera serigala sampai dewasa. Akhirnya, Crussoe mempunyai gaya hidup, bicara, ungkapan bahasa, dan watak seperti serigala, padahal dia adalah anak manusia. Kenyataan ini pun membantah teori Nativisme, sebab gambaran dalam cerita Robinson Crussoe itu telah membuktikan bahwa lingkungan dan didikan membawa pengaruh besar terhadap perkembangan anak.
C.          Aliran Natularisme
Tokoh aliran ini adalah J.J. Rousseau. la adalah filosof Prancis yang hidup tahun 1712-1778. Nature berarti alam atau apa yang dibawa sejak lahir. Hampir senada dengan aliran nativisme, maka aliran ini ( naturalism ) berpendapat bahwa pada hakikatnya semua anak manusia sejak dilahirkan adalah baik. Bagaimana hasil perkembangannya kemudian sangat ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atau yang mempengaruhinya. Jika pengaruh atau pendidikan itu baik, akan menjadi baiklah ia; akan tetapi jika pengaruh itu jelek, akan jelek pula hasilnya.
Naturalisme mempunyai pandangan bahwa setiap anak yang lahir di dunia mempunyai pembawaan baik, namun pembawaan tersebut akan menjadi rusak karena pengaruh lingkungan, sehingga aliran Naturalisme sering disebut Negativisme. Ia mengatakan “ semua anak adalah baik pada waktu baru datang dari tangan Sang Pencipta, tetapi semua menjadi rusak ditangan manusia”. Oleh karena itu, sebagai pendidik Rousseau mengajukan “pendidikan alam”. Artinya anak hendaklah dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya, manusia atau masyarakat jangan banyak mencampurinya. Naturalisme memiliki tiga prinsip tentang proses pembelajaran (M. Arifin dan Aminuddin R., 1992: 9), yaitu:
1.      Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan di dalam dirinya secara alami.
2.Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu mendorong keberanian anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar terletak pada diri anak didik sendiri.
3.            Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat dengan menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola belajar anak didik. Anak didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran Naturalisme menitikberatkan pada strategi pembelajaran yang bersifat paedosentris; artinya, faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat kegiatan proses belajar-mengajar.
D.          Aliran Konvergensi
Tokoh aliran Konvergensi adalah William Stem. la seorang tokoh pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939. Aliran konvergensi berasal dari kata konvergen, artinya bersifat menuju satu titik pertemuan. Aliran Konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari aliran Nativisme dan Empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir di dunia ini telah memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan penting.
Anak yang mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak secara optimal jika tidak didukung oleh bakat baik yang dibawa anak.
Dengan demikian, aliran Konvergensi menganggap bahwa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat dan lingkungan. Hanya saja, William Stem tidak menerangkan seberapa besar perbandingan pengaruh kedua faktor tersebut. Sampai sekarang pengaruh dari kedua faktor tersebut belum bisa ditetapkan.
Karena itu teori W. Stern di sebut teori konvergensi (memusatkan ke satu titik). Jadi menurut teori konvergensi:
1.      Pendidikan mungkin untuk di laksanakan
2.            Pendidikan di artikan sebagai pertolongan yang di berikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
3.            Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.
Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Meskipun demikian, terdapat berbagai pendapat tentang faktor – faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh kembang itu. Seperti yang telah dikemukakan bahwa pendapat – pendapat itu tercermin antara lain dalam perbedaan pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami perilaku manusia, seperti strategi disposisional atau konstitusional, strategi phenomenologist atau humanistik, strategi behavioral, strategi psikodinamik atau psiko-analitik dan sebagainya.
E.           Aliran Progresivisme
Tokoh aliran Progresivisme adalah John Dewey. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan, ataupun masalah-masalah yang bersifat mengancam dirinya.
Aliran ini memandang bahwa peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan. Hal itu ditunjukkan dengan fakta bahwa manusia mempunyai kelebihan jika dibanding makhluk lain. Manusia memiliki sifat dinamis dan kreatif yang didukung oleh ke-cerdasannya sebagai bekal menghadapi dan memecahkan masalah. Peningkatan kecerdasan menjadi tugas utama pendidik, yang secara teori mengerti karakter peserta didiknya.
Peserta didik tidak hanya dipandang sebagai kesatuan jasmani dan rohani, namun juga termanifestasikan di dalam tingkah laku dan perbuatan yang berada dalam pengalamannya. Jasmani dan rohani, terutama kecerdasan, perlu dioptimalkan. Artinya, peserta didik diberi kesempatan untuk bebas dan sebanyak mungkin mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sehingga suasana belajar timbul di dalam maupun di luar sekolah.
F.           Aliran Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giambatista Vico, seorang epistemolog Italia. la dipandang sebagai cikal-bakal lahirnya Konstruksionisme. la mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan (Paul Suparno, 1997: 24). Mengerti berarti mengetahui sesuatu jika ia mengetahui. Hanya Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu itu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Bagi Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang dibentuk. Pengetahuan tidak bisa lepas dari subjek yang mengetahui.
Aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya. Artinya, pengetahuan merupakan suatu proses, bukan suatu barang. Menurut Piaget, mengerti adalah proses adaptasi intelektual antara pengalaman dan ide baru dengan pengetahuan yang telah dimilikinya, sehingga dapat terbentuk pengertian baru (Paul Supamo, 1997: 33).
Piaget juga berpendapat bahwa perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus-menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi (Suwardi, 2004: 24).
Kesimpulannya, aliran ini menegaskan bahwa pengetahuan mutlak diperoleh dari hasil konstruksi kognitif dalam diri seseorang; melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra, yaitu indra penglihatan, indra pendengaran, indra peraba, indra penciuman, dan indra perasa. Dengan demikian, aliran ini menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang ke-pada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan, sehingga jika pembelajaran ditujukan untuk mentransfer ilmu, perbuatan itu akan sia-sia saja. Sebaliknya, kondisi ini akan berbeda jika pembelajaran ini ditujukan untuk menggali pengalaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar